
Terang Kasih Kebenaran Abadi
Surat 1 Yohanes
Di era ketika layar-layar digital menjadi altar baru bagi manusia modern, relasi sering kali tereduksi menjadi sekadar citra dan representasi. Dunia maya menjanjikan kedekatan, tetapi tak jarang menghadirkan keterasingan. Kita dapat menyapa ratusan orang dalam satu hari, namun tetap merasa kosong dalam keheningan batin. Di sinilah Surat 1 Yohanes bersuara, bukan sebagai gema nostalgia kuno, melainkan sebagai sabda yang menembus zaman. ”Allah adalah kasih” (1 Yoh. 4:8) dan ”jika kita berkata bahwa kita bersekutu dengan Dia, tetapi kita hidup dalam kegelapan, kita berdusta dan tidak melakukan kebenaran” (1 Yoh. 1:6).
Kasih dan kebenaran bukanlah dua entitas yang berdiri sendiri, melainkan poros ganda yang menopang identitas Kristen sejati. Tanpa kasih, kebenaran dapat berubah menjadi pedang yang melukai; tanpa kebenaran, kasih bisa merosot menjadi sentimentalitas rapuh. Yohanes menegaskan keduanya dalam keseimbangan yang tak terpisahkan. Dalam konteks digital, keseimbangan ini menjadi semakin mendesak. Kita hidup dalam zaman ketika kebenaran sering dikonstruksi sebagai “narasi” dan kasih direduksi menjadi ”like” atau ”emoji”. Pertanyaannya: masihkah iman Kristen mampu menghadirkan keotentikan dalam ruang maya yang sarat kepalsuan?
Inkarnasi Kristus menjadi jawaban atas kegelisahan itu. Allah yang adalah kasih tidak berhenti pada retorika surgawi, melainkan turun ke dalam sejarah manusia, ”Firman itu telah menjadi manusia” (Yoh. 1:14). Inkarnasi ini menjadi kritik tajam terhadap budaya digital yang cenderung memisahkan identitas dari tubuh nyata. Kristus hadir secara utuh, dan kehadiran itulah yang menuntut umat-Nya untuk tidak bersembunyi di balik topeng digital, tetapi menghadirkan kasih yang nyata dalam perjumpaan, sekalipun melalui media yang serba virtual.
Namun, kasih tidak dapat dipisahkan dari kebenaran. Dunia digital dengan mudah melahirkan ajaran sesat baru, yakni relativisme etis, disinformasi, bahkan spiritualitas instan yang menjanjikan keselamatan tanpa salib. Yohanes menolak semua bentuk iman yang hanya retoris. Ia menulis, ”Anak Ku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1 Yoh. 3:18). Dalam konteks kita, ini berarti etika digital Kristen tidak boleh berhenti pada postingan rohani, melainkan harus diwujudkan dalam integritas hidup melalui komentar yang membangun, relasi yang tulus, dan sikap yang konsisten antara persona daring dan luring.
Renungan ini menantang kita, apakah iman kita hanyalah ”konten rohani” yang dipoles di layar, atau sungguh-sungguh ”kesaksian inkarnasional” yang menghadirkan kasih Allah di dunia yang haus keaslian? Di tengah algoritma yang mendorong polarisasi, kita dipanggil untuk menjadi saksi kasih yang merangkul. Di tengah banjir informasi palsu, kita dipanggil untuk berdiri di atas kebenaran Kristus yang membebaskan.
Kasih dan kebenaran bukanlah konsep abstrak, melainkan jalan hidup. Yohanes menutup suratnya dengan nada yang meneguhkan, yakni tujuan akhir dari kasih dan kebenaran adalah persekutuan dengan Allah dan dengan sesama (1 Yoh. 1:3). Dunia digital mungkin mempertemukan banyak orang, tetapi hanya kasih dan kebenaran yang dapat menyatukan mereka dalam keutuhan. Maka, tugas gereja di era digital bukan sekadar ”eksis” di ruang maya, melainkan menghadirkan kesaksian yang otentik, yaitu menjadi terang di tengah kegelapan digital, dan menghadirkan kasih yang berakar dalam kebenaran.
0 Komentar